"Alih Teknologi"
Alih Teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan, atau
orang, baik yang berada di lingkungan dalam negeri maupun yang berasal
dari luar negeri ke dalam negeri dan sebaliknya. (Pasal 1 Angka 11 UU Nomor
18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Pengalihan kemampuan memanfaatkan dan
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan, atau orang, baik
yang berada dilingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke
dalam negeri dan sebaliknya.
Teknologi Modern dan Dominasi
Menurut
Denis Goulet dalam bukunya ‘The Uncertain Promise: Value Conflicts in
Technology Transfers‘, teknologi tidak hanya berupa alat-alat atau
teknik-teknik produksi. Teknologi juga mewujud dalam proses dan person.
Teknologi didefinisikan sebagai aplikasi sistematis atas rasionalitas
kolektif manusia untuk memecahkan masalah-masalah dengan cara mengusahakan kendali atas alam dan atas segala macam
proses manusia.
Goulet
melanjutkan, teknologi memiliki peran penting antara lain karena: teknologi
adalah sumber dan pencipta sumber daya baru, teknologi adalah instrumen yang
kuat untuk menciptakan kontrol sosial, teknologi mempengaruhi pengambilan
keputusan untuk mencapai kehidupan yang berkualitas, dan teknologi membentuk makna-makna
baru sebagai lawan dari alienasi-yang merupakan antitesis dari kehidupan yang
bermakna (meaningful life).
Walaupun
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki sejarah yang panjang, yang
disebut sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi modern adalah yang bersumber
dari masa Pencerahan Barat. Terjadi penolakan untuk mengakui sumbangsih semua
ilmu pengetahuan dan teknologi pra-Pencerahan yang bukan berasal dari Barat,
secanggih dan sepenting apapun ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Itulah
mengapa menguasai teknologi harus berarti mengimpor teknologi dari Barat.
Dalam
era pembangunan dan modernisasi, Negara Dunia Ketiga memiliki hasrat besar
untuk menguasai teknologi, selayaknya yang terjadi di negara-negara maju.
Teknologi sering disamakan dengan teknik-teknik produksi atau alat-alat semata.
Diasumsikan bahwa jika teknologi tersebut berhasil dalam negara tempat
teknologi tersebut diciptakan dan dikembangkan, maka teknologi tersebut akan
berhasil pula di daerah lain manapun.
Asumsi
tersebut tidak dapat dibenarkan, sebab teknologi tidak berfungsi dalam sebuah ‘vacuum
social‘. Ia amat bergantung pada kondisi sosial, infrastruktur baik fisik
maupun tenaga kerja, serta ketersediaan bahan baku. Menyederhanakan alih
teknologi menjadi sekadar alih alat-alat dan teknik-teknik produksi sama halnya
mengharapkan hal-hal tersebut cukup mujarab untuk menyelesaikan segala
permasalahan. Tentu saja pandangan ini berlebihan dan mengada-ada, bahkan
menyesatkan sebab kenyataan di lapangan membuktikan sebaliknya.
Alih teknologi sering secara asal diartikan sebagai proses untuk menjadikan Negara Dunia Berkembang ikut menguasai teknologi sebagaimana yang terjadi pada negara maju. Tetapi, sesungguhnya bagaimanakah cara teknologi tersebut dialihkan?
Yang dimaksud dengan alih teknologi sebenarnya
tak lain dan tak bukan adalah transaksi ekonomi untuk kepentingan dagang.
Ini
terlihat dari jenis-jenis dan cara-cara alih teknologi. Korporasi transnasional
menjadi aktor kunci dalam proses ini. Anthony I. Akubue “Technology
Transfer: A Third World Perspective” menjelaskan jenis-jenis alih
teknologi. Yang sering terjadi antara lain:
·
Foreign Direct
Investment,
yaitu investasi jangka panjang yang ditanamkan oleh perusahaan asing. Investor
memegang kendali atas pengelolaan aset dan produksi. Untuk menarik minat
investor asing, Negara Dunia Ketiga menjalankan berbagai kebijakan seperti
liberalisasi, privatisasi, menjaga stabilitas politik, dan meminimalkan campur
tangan pemerintah. Padahal, kepemilikan asing atas modal sama saja dengan
membentangkan jalan lebar menuju keuntungan dan pelayanan bagi korporasi
transnasional. Mereka mengeksploitasi banyak keuntungan dengan resiko yang
ditanggung oleh Negara Dunia Ketiga. Bayangan mengenai terjadinya alih
teknologi dan pengembangan teknologi pribumi dirasakan sebagai impian yang
terlalu muluk.
·
Joint Ventures, yaitu kerjasama (partnership)
antara perusahaan yang berasal dari negara yang berbeda dengan tujuan mendapat
keuntungan. Dalam model seperti ini, kepemilikan diperhitungkan berdasarkan
saham yang dimiliki. Jenis alih teknologi ini menjadi menarik sebab
perusahaan-perusahaan asing dapat menghindari terjadinya nasionalisasi atas
perusahaan. Perlu diketahui bahwa dalam model FDI (Foreign Direct Investment)
resiko terjadinya nasionalisasi secara tiba-tiba adalah cukup tinggi. Selain
itu investor asing juga merasa riskan bila harus melakukan joint ventures
dengan perusahaan nasional Negara Dunia Ketiga.
·
Licensing
Agreements,
yaitu izin dari sebuah perusahaan kepada perusahaan-perusahaan lain untuk
menggunakan nama dagangnya (brand name), merek, teknologi, paten, hak
cipta, atau keahlian-keahlian lainnya. Pemegang lisensi harus beroperasi di
bawah kondisi dan ketentuan tertentu, termasuk dalam hal pembayaran upah dan
royalti. Biasanya cara ini digunakan oleh perusahaan asing dengan mitra Negara
Dunia Ketiga. Cara ini adalah yang paling memungkinkan terjadinya alih
pembayaran atau larinya modal dari Negara Dunia Ketiga kepada perusahaan-perusahaan
asing.
·
Turnkey Projects, yaitu membangun infrastruktur dan konstruksi
yang diperlukan perusahaan asing untuk menyelenggarakan proses produksi di
Negara Dunia Ketiga. Bila segala fasilitas telah siap dioperasikan, perusahaan
asing menyerahkan ‘kunci’ kepada perusahaan domestik atau organisasi lainnya.
Perusahaan asing juga menyelenggarakan pelatihan pekerja dalam negeri agar
suatu saat dapat mengambil alih segenap proses produksi yang dibutuhkan. Kecil
kemungkinan terjadi alih teknologi sebab perusahaan domestik hanya bisa
mengoperasikan tanpa mengerti kepentingan pengembangan teknologi tersebut.
Perusahaan domestik juga tidak bisa membangunnya, sehingga peran mereka sekadar
menjadi budak suruhan.
Dilema Alih Teknologi
Perkara alih teknologi sama sekali bukan hal yang sederhana. Dalam Prisma no. 4, April 1987, Todung Mulya Lubis menyatakan beberapa dilema alih teknologi yang dihadapi oleh Negara Dunia Ketiga, antara lain:
Perkara alih teknologi sama sekali bukan hal yang sederhana. Dalam Prisma no. 4, April 1987, Todung Mulya Lubis menyatakan beberapa dilema alih teknologi yang dihadapi oleh Negara Dunia Ketiga, antara lain:
Dilema pertama, teknologi itu bukan
sesuatu yang murah. Dilema terletak pada sejauh mana Negara Dunia Ketiga
bersedia membayar harga teknologi yang cukup mahal itu. Sejauh mana Negara
Dunia Ketiga memprioritaskannya di tengah kebutuhan lain yang mendesak
dipenuhi. Parahnya, penentuan harga jual hampir mutlak terletak pada tangan
pemilik teknologi. Pembeli hanya diberi pilihan membeli atau tidak sama sekali.
Teknologi seringkali dijual secara paket, di mana paket tersebut dengan segala
perekatnya (tie-in) secara sepihak sering sengaja dimahalkan. Untuk
industri tinggi, pembelian teknologi secara terpisah (partial) hampir
mustahil.
Dilema kedua adalah pada satu pihak
Negara Dunia Ketiga ingin memelihara dan mempertahankan kemerdekaan, tetapi di
pihak lain, dengan alih teknologi ini bukan mustahil negara akan melepaskan
sebagian kemerdekaan tersebut. Sangat besar kemungkinan, teknologi yang
dimasukkan tersebut menimbulkan ketergantungan teknologi (technological
dependency). Hal ini tidak sehat bagi perekonomian Negara Dunia Ketiga.
Negara Dunia Ketiga sekadar menjadi sandera dari pemasaran teknologi asing.
Negara-negara maju dan perusahaan multinasional akan menjadikan kekayaan negara
berkembang sebagai sasaran pemasaran teknologinya.
Dilema ketiga adalah apabila
ketergantungan teknologi ini sudah semakin tinggi, maka kreativitas masyarakat
dan anak sekolah akan merosot. Kemalasan untuk bersusah payah pun muncul.
Akibat yang paling jelek adalah
berkurangnya lapangan pekerjaan sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK)
dan meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan. Inilah wajah tidak
manusiawi dari alih teknologi.
Selain dilema-dilema yang dihadapi
sebagaimana yang tercantum di atas, dalam alih teknologi itu sendiri sebenarnya
mengandung pertentangan nilai yang tak terelakkan, seperti yang ditunjukkan
oleh Denis Goulet (1977) berikut:
Teknologi dianggap sebagai pedang
bermata dua, sebagai pengembang sekaligus penghancur nilai-nilai. Dalam hal
ini, alih teknologi dari Barat tentu saja membawa serta nilai-nilai dan
pandangan hidup barat.
- Nilai pertama adalah rasionalitas. Dalam sudut pandang teknologi Barat, yang dimaksud rasional adalah melihat segala permasalahan dapat dipecah-pecah menjadi bagian-bagian, disusun kembali, dimanipulasi melalui cara-cara praktis, dan diukur dampak-dampaknya. Padahal, nilai-nilai tradisional Negara Dunia Ketiga banyak memasukkan aspek-aspek yang tidak mungkin dijawab melalui rasionalitas Barat semacam itu, dan nilai-nilai tradisional tersebut telah melekat dalam kehidupan masyarakat Negara Dunia Ketiga dan dipegang sebagai sebuah kepercayaan.
- Nilai kedua adalah efisiensi. Efisiensi memiliki keterkaitan erat dengan konsep dari industri yaitu produktivitas. Naik turunnya efisiensi dapat diukur melalui tingkat produktivitas. Produktivitas menilai segala sesuatu dari hasil atau output, dibandingkan dengan input yang diperlukan untuk menghasilkannya. Produktivitas dihitung dari seberapa banyak produk bila dibandingkan dengan investasi yang dikeluarkan untuk tenaga kerja, modal, mesin, dan waktu.
- Nilai ketiga adalah mengutamakan pemecahan masalah secara teknis tanpa memperhatikan aspek alam atau manusiawi. Inginnya segala sesuatu dapat diselesaikan, sehingga tidak memberi waktu terhadap kontemplasi dan harmonisasi dengan alam. Juga mengembangkan perilaku acuh, pasif, dan penolakan terhadap masalah-masalah yang dihadapi.
- Nilai keempat adalah menganggap kekuatan alam sebagai objek yang harus dipergunakan untuk sebesar-besar kepentingan manusia. Padahal sebagian besar nilai-nilai tradisional sangat mengutamakan hubungan yang harmonis dengan alam untuk menghindari dampak buruk yang dapat ditimbulkan.
Demikianlah terjadi berbagai
pertentangan nilai dalam alih teknologi, tetapi tetap saja Negara Dunia Ketiga
menutup mata dan bersikukuh untuk melakukan alih teknologi.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar